Jumat, 08 Oktober 2010

LEGANDA SANGKURIANG

Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama Dayang Sumbi.Ia mempunyai seorang  anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu.
Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.
Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan.
Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan  memiliki kecantikan abadi.

Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya.  Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.
Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi demi melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan.
Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota.
Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.
Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama "Tangkuban Perahu

ASAL MULA PADI

Sri Pohaci Long Kancana" yang melaporkan bahwa di Buana Panca Tengah
belum terdapat "Cihaya" berupa sesuatu kebutuhan hidup para umat, yang
ada baru berupa "Nur Muhammad". Mendengar hal tersebut, Sunan Ibu
menitahkan agar Dewi Sri Pohaci Long Kancana berangkat ke Buana Panca
Tengah.

Dalam seyogianya Dewi Sri Pohaci Long Kancana tidaklah berkeberatan
untuk berangkat ke Buana Panca Tengah asalkan kepergiannya ditemani
Eyang Prabu Guruminda. Permohonan Sang Putri pun dikabulkan oleh Sunan
Ibu.Sebelum berangkat meninggalkan Sorga Loka, Eyang Guruminda duduk
bersemedi memohon petunjuk Hiang Dewanata. Setelah selesai semedi dan
memperoleh petunjuk, dengan kesaktiannya yang hanya dalam waktu sekejap
sang Putri berubah bentuk menjadi sebuah telur.

Setelah semua persiapannya selesai, maka berangkatlah Eyang Guruminda
mengiring Dewi Sri Pohaci Long Kancana dengan tujuan Negara Buana Panca
Tengah, yang disimpan dalam sebuah Cupu Gilang Kencana. Prabu Guruminda
setelah beberapa lama terbang ke setiap penjuru
utara-selatan-barat-timur yang pada akhirnya pada suatu ketika Cupu
Gilang Kencana terbuka dan "telur" di dalamnya pun terjatuhlah.

Sudah menjadi kersaning Sang Dewata, telur yang terjjatuh tadi jatuh di
suatu tempat yang mana tempat itu dihuni oleh Dewa Anta. (Cirebon
sekarang?). Dewa Anta yang mengetahui di tempat bersemayamnya ada telur,
ta ayal lagi maka telur itu pun dieraminya. Setelah beberapa waktu
lamanya telur dalam eraman Dewa Anta menetas dan lahirlah seorang putri
yang sangat cantik.
Dalam kedewasaannya dengan paras yang sangat cantik yang akhirnya
tersiar berita ke seluruh negri dan berdatanganlah ratu-ratu kerajaan
pada zamannya dengan maksud akan meminangnya untuk dijadikan permaisuri.

Dewi sri pohaci Long Kencana memperoleh pinangan dari para ratu ini
bukanlah menjadikan hatinya senang karena bila ia menerima pinangan
berarti ia telahmengingkari niatnya dan amanat yang telah dibebankan
kepadanya. Kepada setiap ratu pun telah dijelaskan bahwa maksud
pengembaraannya itu bukan semata-mata untuk mencari bakal suami, namun
untuk mengemban amanat dari Sang Hiang Widi di Sorga Loka yaitu untuk
menganugerahkan "CIHAYA" kepada negara gelar Buana Panca Tengah. >>

Walau penjelasn telah disampaikan namun pinangan terus-menerus
berdatangan juga dan oleh karenanya pada akhirnya Dewi Sri Pohaci Long
Kencana menderita tekanan bathin dan jatuh sakit. Lama kelamaan sakitnya
semakin parah dan tibalah suatu saat Sang Putri menyampaikan amanat
terakhir "Nanti bila saatnya tiba dan bila kelak aku sudah disemayamkan,
akan terdapat suatu keanehan-keanehan pada pusaraku". Hendaknya
diperhatikan pada pusaraku; pada bagian "larangan" kelak akan tumbuh
"pohon enau", sedang pada bagian "puser" akan tumbuh bermacam-macam
tumbuhan dan pada bagian kepala akan tumbuh "pohon kelapa". Dan akhirnya
dengan kehendak Sang Hiang Widi, Putri antik pun tilemlah.
Benarlah apa yang diamanatkan oleh Sang putri adalah menjadi kenyataan.
Dikisahkan pada suatu hari, ada kakek-nenek pencari kayu yang seperti
biasanya pada hari-hari tertentu mencari kayu bakar dan sekedar mencari
bahan makanan untuk bekal hidupnya berdua.

Suatu ketika kakek dan nenek mendapatkan sebuah pusara yang telah
ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang belum pernah ditemui dan dilihatnya
selama ini. Seperti apa yang telah diwasiatkan terdahulu bahwa pada
bagian "larangan" tumbuh pohon enau dan pada bagian kepala tumbuh pohon
kelapa. Namun pada bagian sekitar pusernya tumbuh bermacam-macam
tumbuhan dan tepat pada "puser'nya tumbuh suatu tanaman yang sangat aneh
dan belum pernah selama ini kakek dan nenek menemukannya dan baru kali
ini melihatnya. Adalah serangkai tumbuhan berdaunan bagus berbuah masih
hijau berbulu bagus pula.

Timbul niatnya untuk memeliharanya dan dibersihkannya sekitar tumbuhan
tersebut. Demikian dari hari ke hari minggu ke minggu dengan penuh
kesabaran dan ketekunan tumbuhan itu dipeliharanya. Tak terasa waktu
berjalan terus hingga menjelang bulan ke 5, buah yang hijau tdi telah
buncit berisi, sehingga buah yang setangkai itu merunduk karena
beratnya. Dengan penuh kesabaran dan keyakinan lagi pula ingin
mengetahui sampai di mana dan apa sebenarnya tumbuhan yang aneh itu.
Setelah beberapa lama menjelang bulan ke 6 ditengoknya kembali tumbuhan
tersebut dan ternyata butir-butir buah tadi berubah menjadi kuning
sangat indah nampaknya.
Setelah keduanya termenung maka timbullah niat untuk memetiknya.
Sebelum dipetik buah tadi dicicip terlebih dahulu dan ternyata isinya
putih dan semu manis rasanya. Kakek dan nenek menyiapkan dupa beserta
apinya untuk membakar kemenyan untuk memohon izin kepada Hiang Widi.
Selesai upacara membakar kemenyan, ditebaslah tumbuhan yang dimaksud dan
alangkah terkejutnya kakek dan nenek itu karena pada tangkai yang
dipotong tadi mengeluarkan darah bening serta harum *) namun bagi kakek
dan nenek tidaklah menjadi penyesalan karena disadarinya bahwa kejadian
ini sudah menjadi kehendak yang kuasa. Dan sudah bening serta harum
pulalah yang dijadikan kemenyan.

Namun timbul kemudian niatnya untuk menanamnya kembali dan butir-butir
buah tadi ditanamnya kembali sekitar pusara tadi. Keajaibannya pun
terjadi kembali karena dengan seketika itu pula butir-butir tadi tumbuh
dan sudah berbuah kuning pula. Kakek dan nenek langsung menbasnya pula
dan ketika itu pulalah ditaburkannya butir-butir kuning itu demikina
terus kejadian itu terulang sehingga terkumpullah ikatan butir-butir
buah kuning banyak sekali.
Atas kejadian ini kakek dan nenek menjadi bingung karenanya, memperoleh
hasil sangat berlimpah dalam waktu sekejap. Dari asal buah setangkai.
Lagi pula apa yang mereka miliki belum tahu apa dan buah apa gerangan
terlebih namanya pun belum ada.

Demikian, karena kakek dan nenek dalam kebingungan bahkan belum mendapat
keputusan untuk memberinya nama. Sehingga tiba-tiba nenek mengusulkan
bahwa berhubung kakek dan nenek selalu bingung tidak bisa ada keputusan
dan sukar untuk memilih, yang dalam bahasa Sundanya disebut "paparelean"
lebih baik buah ini kita sebut "pare" saja, demikian yang pada akhirnya
tumbuhan serta buahnya tadi diberi nama "Pare".

Tidaklah keberatan kiranya penulis di sini sedikit menganalisa atas
terjadinya nama "Pare". Pertama, mungkin karena ada kata "paparelean"
asal dari dua suku kata yaitu "papar" yang artinya "jelas", "maparkeun"
yang artinya menjelaskan, atau menegaskan, serta diambil dari kata
"Alean" (Sunda) yang artinya "milih" sehingga gabungan dari dua suku
kata awal yang mengandung dua makna yaitu "Par" da "e" pada elean
sehingga menjadi kata "Pare". >>

Kedua, mungkin asal kejadian dari kata "Alean" itu sendiri yang artinya
memilih. Umpamanya saja kami ambilkan contoh dari kata "pilih" bisa jadi
"milih" - marilih - "Parilih". Sehingga dalam kata "Alean" pun (kata

Sunda buhun) bisa terjadi perubahan bentuk menurut kebutuhan menjadi
pang"marelean"keun-di "perelean" yang kemudian hasil dari "marilih" tadi
disebut "PARE".

Demikian hingga sekarang di tatar Sunda yang dimaksud Nagara Buana Panca
Tengah, hingga kini tumbuhan serta buahnya yang dimaksud disebut "PARE",
yang merupakan cita-cita Dewi Sri Pohaci Long Kancana untuk kelengkapan hidup yang disebut "CIHAYA". ***